Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 31 Desember 2010

All about Cannes Perancis

NICE – Rasa kantuk dan lelah sehabis perjalanan panjang dari Jakarta menuju Prancis-Nice, langsung hilang beberapa saat sebelum pesawat yang kami tumpangi mendarat di Nice-Cote d’Azur International Airport, awal November lalu.

Memasuki musim dingin yang serbakelabu di daratan Eropa, Nice menawarkan pemandangan yang sungguh berbeda. Dari atas pesawat, kami –delapan wartawan asal Singapura, Malaysia dan Indonesia yang diundang atas kerja sama Air France-Le Meridien-Maison de la France untuk mengunjungi French Riviera alias Cote d’Azur—bisa merasakan cerah dan hangatnya sinar matahari dipadu dengan debur ombak yang bergulung-gulung di bawahnya, seakan mengajak kaki kami untuk berendam di dalamnya.
Benar saja, begitu melangkahkan kaki keluar dari bandara, udara Nice yang hangat dengan suhu sekitar 14 derajat Celsius, bagaikan sapaan ramah yang menyambut kedatangan kami yang terbiasa hidup di negeri tropik. Sepanjang jalan utama Promenade Des Anglais yang membelah jantung kota Nice, mata akan dimanja dengan pemandangan yang menakjubkan. Di sebelah kanan, pantai berpasir putih dengan air yang biru jernih terbentang sepanjang mata memandang. Suasana santai dan liburan langsung terasa. Beberapa perempuan cantik bertubuh molek berselonjor mandi matahari. Sementara pasangan di sebelahnya, asyik berciuman, seakan dunia hanya milik berdua. Sungguh romantis!
Sementara di sebelah kiri jalan, pemandangannya juga tak kalah mengasyikkan. Sepanjang jalan juga dipenuhi berbagai bagunan apartemen bernuansa art deco, yang di lantai bawahnya dipenuhi café, restoran, toko, butik dan juga casino. Mata kita akan dibuai dengan warna-warni cerah dari tenda yang dipasang di depan bangunan atau teras—seperti merah, hijau, kuning, biru—yang menyatu dengan hangatnya matahari.
Yang membuat Nice istimewa selain dari temperaturnya yang hangat sepanjang tahun adalah dua kekayaan alam sekaligus yang dimilikinya. Di sebelah selatan kita bisa menikmati hangatnya udara laut. Di sebelah utara kita juga bisa melihat puncak gunung Alpes d’Azur yang ditutupi gundukan es. Pada puncak musim dingin di bulan Februari, penduduk setempat ataupun turis bisa bermain ski di puncak gunung. Jika bosan dan merindukan hangatnya matahari, kita bisa langsung turun ke pantai, cukup dengan kaos atau bikini. Unik, tapi nyata.
Selain keindahan alamnya, Nice juga terkenal dengan keindahan arsitekturnya dan bangunan bersejarah. Sebagai ibu kota Cote d’Azur alias French Riviera, Nice menawarkan beragam seni arsitektur peninggalan masa pendudukan Yunani dan Romawi, mulai dari Baroque, Klasik, Belle Epoque, Art Deco hingga kontemporer. Yang tak bisa dilewatkan adalah Kota Lama Nice yang masih mempertahankan kecantikan arsitektur baroque dari abad ke-17-18, seperti Palais Lascaris, yang sekarang menjadi museum seni rakyat dan tradisi, Gedung Pengadilan (Palais de Justice) yang dibangun tahun 1892 yang selesai dimodifikasi tahun 2000 serta Gedung Prefecture lama, bekas istana Raja-raja Sardinian. Tak ketinggalan bangunan-bangunan gereja, seperti The Cathedral (Sainte-Reparate), Gereja Saint Rita, terutama Chapelle de la Misericorde yang sungguh cantik. Sebagai kota yang dikenal artistik, Kota Lama Nice ini juga banyak ditemukan berbagai galeri seni dan toko-toko kerajinan tangan.

Antibes
Kota kecil peninggalan Yunani yang letaknya diapit Nice dan Cannes ini, dikenal sebagai kota yang pertama kali menggelar Festival Jazz di Eropa sejak tahun 1960 yang masih terus berlangsung hingga kini. Kalau jazz begitu populer di Antibes, ini berkat dua masterpiece jazz pertama di dunia, Louis Armstrong dan King Oliver yang tahun 1923 tinggal di Cap d ‘Antibes dan memperkenalkan musik Afro-Amerika pada masyarakat setempat, hingga akhirnya lahir festival yang diberi nama Jazz in Juan. Festival yang digelar setiap bulan Juli ini, telah menghadirkan artis-artis jazz kenamaan dunia, macam Marcus Miller, Wynton Marsalis, Salif Keita, Diana Krall, James Carter hingga Joshua Redman.
Tidak hanya populer dalam musik jazz, Antibes juga terkenal sebagai kota seni dan budaya. Ini berkat kehadiran sejumlah seniman besar yang terpikat pada kekayaan alam Antibes dan banyak menghasilkan karya di sana, mulai dari Meissonnier, Monet, Nicolas de Staël hingga Picasso yang menghembuskan napas terakhirnya di situ. Bahkan, kekayaan seni dan budaya Antibes, bisa disaksikan dari berbagai museum yang tersebar di kota yang berpenduduk lebih dari 73.000 orang itu. Antara lain Picasso, Archaelogy Museum, Musee Peynet and du dessin humoristique, dan Musee de la Tour (museum kesenian rakyat). Bahkan pahlawan Prancis, Napoleon Bonaparte yang pernah tinggal Antibes, juga diberi penghargaan dengan didirikannya Musee Napoleonien, yang masih menyimpan peninggalan pada waktu ia mendarat tahun 1815 setelah melarikan diri dari Elba.

Cannes
Cannes tidak bisa dipisahkan dari International Film Festival, sebuah penghargaan bagi insan perfilman yang paling bergengsi di dunia. Tak bisa dipungkiri, salah satu objek wisata yang paling sering dikunjungi turis adalah Palais des Festivals, tempat diselenggarakannya festival film yang sudah berdiri sejak tahun 1946 itu.
Namun, bila berkunjung di luar bulan Mei, jangan harap bisa menyaksikan karpet merah atau gemerlapnya dunia artis. Sebagai pengobat kekecewaan, kita bisa menyusuri Allée des Etoiles du Cinéma, deretan cetakan tangan para artis dan pekerja film dunia yang pernah hadir di Festival Cannes. Mulai dari artis dan pekerja film lokal, hingga Hollywood, seperti Sharon Stone, Spike Lee dan Richard Gere.
Dari Palais des Festival, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri kota tua, Le Suquet yang menghadap pelabuhan lama dan dikelilingi bangunan-bangunan bersejarah seperti Chapel Saint Anne dari abad ke-12, Castre Museum dan Gereja Notre-Dame d’Esperance yang dibangun pada abad ke-17.
Dua lokasi lain yang sayang untuk dilewatkan adalah rue Meynadier, jalan khusus bagi pejalan kaki yang banyak menjajakan makanan khas lokal, seperti keju, kue-kue manis serta kerajinan tangan. Tempat lainnya adalah pasar Forville, tempat para nelayan lokal menjual hasil tangkapannya. Pada hari Senin, tempat ini disulap sebagai pasar loak.

St. Paul de Vence
Dari sekian banyak kota yang kami kunjungi di wilayah French Riviera, Saint-Paul de Vance yang terletak sebelah utara antara Antibes dan Nice adalah tempat favorit saya. Betapa tidak, desa mungil yang terletak di atas bukit peninggalan abad pertengahan ini memiliki pemandangan alam yang luar biasa. Dari balik tembok batu tebal yang mengelilingi Saint Paul –sebagai pertahanan terhadap serangan Italia di masa lampau— kita bisa menyaksikan hijaunya rerimbunan pohon dan ladang anggur di kaki bukit. Sementara di sekeliling desa, mata kita akan dimanjakan dengan berbagai galeri, gereja, hotel, café hingga kios-kios kecil yang menjajakan cendera mata ataupun makanan tradisional setempat yang masih mempertahankan keaslian bangunan batu di masa lampau.


Meskipun banyak pula bangunan yang sudah hancur dimakan zaman, ada beberapa bangunan yang masih bertahan sejak abad pertengahan dulu, seperti kamar bawah tanah dan menara machicolation, namun yang paling menyolok adalah bangunan arsitekturnya yang menggambarkan periode Rennaissance dari abad ke-16 hingga ke-18. Kini, ada 7 monumen dalam desa itu yang tercatat sebagai bangunan bersejarah.
Sejarah Saint-Paul lainnya, dicatat ratusan tahun kemudian oleh para pelukis terkenal seperti Chagall, Calder, Leger, Prevert, Montand dan Ventura yang secara berkala datang ke Saint-Paul untuk mencari inspirasi. Meski mereka sudah lama tiada, jiwa artistik di Saint-Paul terus berlangsung dengan kehadiran berbagai studio yang menawarkan seni lukis dari berbagai aliran, mulai dari gaya abstrak Povencal hingga kontemporer. Beberapa seniman modern yang membuka studionya di Saint-Paul antara lain adalah Pesce, Orsoni, Tobiasse, Verdet dan Zivo.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar